Hidup Damai di Bumi Indonesia

    Hidup Damai di Bumi Indonesia

    Oleh : DR. Mia Amiati, SH, MH Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
     

    Keragaman dalam hal beragama merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, dimana hingga saat ini konflik yang berbasis isu keagamaan masih sesekali terjadi yang biasanya diawali sebagai akibat menajamnya perbedaan penafsiran, hingga konflik yang diakibatkan oleh adanya sikap intoleransi, ekstremisme, radikalisme, hingga terorisme. 

    Setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena bermacam-macam faktor yang  mempengaruhinya, seperti sejarah, politik, sosial, budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu sendiri.
     
    Sejak zaman pra-sejarah, di Indonesia sendiri sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik imperialisme, dan misi agama yang dikenal dengan istilah gold, glory, and gospel. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluknya dan   saat ini ada enam agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan aliran kepercayaan.  
     
    Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki keberagaman dan perbedaan suku, ras, dan agama, namun meskipun demikian situasi kerukunan umat beragama di Indonesia relatif terpelihara dengan baik. Agar terciptanya kehidupan yang rukun, menumbuhkan sikap toleransi merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh segenap Bangsa Indonesia.
     
    Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata toleransi berasal dari kata “toleran” yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Di dalam buku Kontribusi Lembaga-Lembaga Keagamaan dalam Pengembangan Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia oleh Idrus Ruslan, toleransi adalah sikap menahan diri untuk tidak menggunakan cara-cara negatif dalam menyikapi pendapat dan keyakinan yang berbeda.
     
    Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society) dan masyarakat multikultural (multikultural society). Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yaitu suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan yang dapat dipelajari tentang masyarakat manusia, termasuk kepercayaan, seni, moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural perlu dibangun suatu konsep pemikiran bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan pluralisme masyarakat itu.
     
    Indonesia sendiri bahkan sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu ungkapan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang disepakati sebagai simbol pemersatu negara Nusantara ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan kemajemukan Indonesia dan menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas ke-Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
     
    Sekalipun terdapat unsur-unsur yang berbeda, namun kemauan untuk mempersatukan bangsa sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan, sesungguhnya dapat menjadi potensi kesadaran etik pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Pada dasarnya pula, hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia dan seluruh rakyat bisa hidup berdampingan dengan damai di bumi Indonesia tercinta dengan segala perbedaannya, dengan segala adat istiadatnya maupun dengan segala bentuk aktivitas ibadah agannaya bahkan perayaan Hari Besar agamanya .
     
    Memang tidak dapat dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam berbagai hal tersebut merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan itu tidaklah terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh masing-masing individu dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis, yang membawa pula kepada bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh generasi terdahulu, perintis bangsa cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan filosofi keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka Tunggal Ika.
     
    Pancasila sebagai sebuah ideologi negara telah teruji karena lahir dari kesepakatan bersama antarkelompok yang beragam. Lahirnya Pancasila tidak hanya melibatkan tokoh dari kalangan satu agama saja, melainkan juga tokoh-tokoh agama lain dan kelompok nasionalis. Untuk mewujudkan kehidupan yang damai di bumi Indonesia tercinta, Pemerintah harus tetap mengupayakan untuk dapat mensinergikan nilai-nilai Pancasila dengan setiap ajaran agama yang diakui oleh negara. Di antara pembaca, saya yakin pasti pertnah mendengar istilah Moderasi Beragama yang diprakarsai oleh Kementrian Agama yang merumuskan sebuah gagasan yang disebut sebagai Moderasi Beragama. Melalui Moderasi Beragama, Kemenag mendorong pertumbuhan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang moderat, tidak ekstrem atau berlebihan, karena agama apapun memang melarang setiap umatnya untuk berlebih-lebihan.

    Berbicara mengenai Moderasi Beragama, tentu kita tidak bisa melepaskan dari sikap pandang wawasan kebangsaan karena dengan adanya   wawasan kebangsaan yang kuat pada umat beragama menjadi Komitmen umat beragama untuk menghalau merebaknya ideologi yang berlawanan dengan Pancasila.

    Indonesia sebagai negara Pancasila juga memfasilitasi dan mengakomodasi penyelenggaraan aktivitas keagamaan setiap warga negara, serta pada saat yang sama tetap menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk menjalankan keyakinan serta kepercayaannya masing-masing, tanpa ditentukan oleh Negara. Maka, pada kesempatan yang sangat baik ini, tentu sudah selayaknya kepada saudara-saudara kita yang merayakan Natal, kita ucapkan SELAMAT MERAYAKAN HARI NATAL YANG PENUH KEDAMAIAN DI BUMI INDONESIA TERCINTA

    Surabaya, Sabtu 24 Desember 2022

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Jelang Natal dan Tahun Baru 2023, Forkopimda...

    Artikel Berikutnya

    Dosen FISIP Terima Anugerah PERHUMAS kategori...

    Berita terkait